Portofolio itu lebih dari karya: itu memoir visual
Aku selalu mikir, kalau orang ngebuka portofolio aku, mereka nggak cuma lihat gambar atau proyek. Mereka ngintip hidupku—versi yang sudah disaring, diedit, dan kadang dibumbui biar lebih Instagrammable. Portofolio seni itu semacam album kenangan yang rapi; tiap karya adalah snapshot mood, teknik yang lagi nyobain, dan kadang kegagalan yang ternyata bagus kalau dilihat dari sudut lain.
Awalnya aku susah banget naruh karya karena takut dibilang “belum matang”. Lama-lama baru sadar: orang suka lihat proses juga. Jadi sekarang aku sengaja taruh beberapa eksperimen yang setengah oke itu. Bukan buat pamer, tapi biar kelihatan manusiawi—dan biar calon kolabs tau kalau aku nggak selalu nempel di zona nyaman.
Curhat: nulis pribadi itu kayak ngelap kaca kotor
Nulis jurnal atau tulisan pribadi, buatku, sama pentingnya dengan bikin lukisan. Kadang aku nulis satu paragraf pendek di tengah malam tentang warna yang bikin mata nggak tenang. Kadang aku curhat panjang soal temen yang tiba-tiba ngajak kolaborasi tapi moodnya fluktuatif. Nulis itu kayak ngelap kaca jendela: setelahnya pemandangan luar jadi lebih jelas.
Ada kalanya tulisan pribadiku nggak untuk publik. Tapi beberapa yang terasa universal aku masukkan ke bagian “Notes” di portofolio. Bukan untuk pamer drama, tapi biar orang tahu apa yang menggerakkan proses kreatifku. Itu juga ngebantu klien yang mau kerja barengku paham kalau aku punya alasan emosional dibalik pilihan palet warna atau komposisi yang aneh itu.
Nah, gaya hidup—ini yang sering disalahpahami
Banyak yang kira gaya hidup seorang seniman selalu bohemian dan dramatis. Padahal, ada hari-hari yang simpel banget: bangun, nyapu workshop, ngopi, dan bikin outline. Gaya hidupku sekarang campuran: bagian bohemian ada (baju cat bau seni wangi), bagian rapi juga ada (jadwal kerja yang kepegang banget kalau deadline deket). Gaya hidup di portofolio bukan sekadar aesthetic feed Instagram; itu jejak bagaimana aku kerja, istirahat, dan menjaga stamina kreatif.
Misalnya, aku lagi rajin jalan pagi biar kepala nggak penuh. Hasilnya, sketsa-sketsa kasar yang tadinya datar jadi punya ritme baru. Jadi ya, gaya hidup kecil itu ternyata nempel ke karya. Kalau kamu lihat portofolio dan ngelihat pola berulang—mungkin itu karena si pembuatnya suka kopi, suka jalan sore, atau suka nonton film noir sebelum tidur. Semua kebiasaan itu jadi fingerprint kreatif.
Buat yang pengen lihat nyata: link kecil, tapi berguna
Kalau mau liat contoh portofolio yang aku maksud —yang campuran antara gambar, tulisan singkat, dan catatan gaya hidup—boleh mampir ke akisjoseph. Jangan berharap semua rapi kayak galeri mewah; lebih ke rak yang penuh benda berharga dan beberapa cangkir kopi kosong. Tapi itu jujur, dan aku suka yang jujur.
Praktis, bukan sok artistik
Kamu nggak perlu nyewa fotografer mahal buat nampilin karya. Aku sering pakai lampu sore di teras, background kain polos, dan handphone lama yang masih setia. Kuncinya: pencahayaan yang natural, deskripsi singkat yang menggugah (bukan deskripsi puitis yang nggak jelas maksudnya), dan urutan karya yang bikin pembaca ngerti alur perkembanganmu.
Tambahkan sedikit cerita di tiap karya—bukan biografi panjang, cukup: “dicoba waktu hujan, soal komposisi ini gue bereksperimen.” Storytelling kecil itu bikin karya terasa hidup dan membangun koneksi. Plus, kalau kamu punya tulisan pribadi tentang prosesnya, taruh juga. Itu bikin portofolio beda dari sekadar katalog.
Closing—sedikit humor, banyak harap
Akhirnya, portofolio, curhat, dan gaya hidup itu kayak trio maut yang saling mendukung. Portofolio menampung karya, tulisan pribadi merawat alasan, dan gaya hidup ngasih bahan terus-menerus. Jadikan semuanya bukan untuk pamer, tapi untuk jujur. Kalau bisa diselipin sedikit humor, kenapa nggak? Santai aja—karya hebat sering lahir dari hari-hari biasa yang dibumbui teh manis dan playlist random.
Kalau kamu lagi nyusun portofolio, ingat satu hal: jangan takut tunjukin prosesnya. Orang suka lihat proses, bukan cuma hasil yang udah kinclong. Dan kalau suatu hari kamu ngerasa stuck, curhat saja—kepada buku, temen, atau diary online. Siapa tahu tuh curhat jadi ide proyek baru. Keep creating, keep living, dan jangan lupa istirahat biar karyamu nggak dipenuhi doodle kopi yang nggak sengaja jadi karya abstrak—kecuali itu memang style-mu, ya kan?