Kadang aku merasa portofolio seni itu seperti album foto masa kecil: menyimpan potongan momen yang kalau ditata ulang, memberi cerita baru. Bedanya, kalau album foto mungkin penuh noda es krim, portofolio penuh noda cat di ujung jari—jejak kecil yang selalu membuatku tersenyum konyol setiap kali mencuci tangan dan melihat warna yang tersisa. Artikel ini adalah sedikit curhat tentang bagaimana aku merawat tiga hal yang belakangan makin terasa saling terkait: portofolio karya, tulisan pribadi, dan gaya hidup sehari-hari.
Menyusun portofolio: lebih dari sekadar menata karya
Aku dulu mengira portofolio cuma soal memilih karya terbaik dan menaruhnya di folder rapi. Salah. Portofolio itu hidup. Waktu aku menyusun ulang karyaku minggu lalu, ruang kerjaku bau kopi pahit dan lem kering, playlist Indie lo-fi mengalun, dan aku tertawa sendiri saat menemukan sketsa yang aku buat saat mabuk-malembur—jejak mata panda jelas terlihat. Menata portofolio berarti memberi napas pada setiap karya: menjelaskan konteks, memberi catatan kecil tentang proses, bahkan menulis kegagalan yang membuat karya berikutnya lebih baik.
Aku suka menempatkan urutan yang seperti menceritakan perjalanan—bukan hanya kronologi. Mulai dari eksperimen kecil yang ceroboh, lalu ke karya yang mulai menemukan bahasa visual, hingga proyek yang memberi resonansi lebih luas. Klien atau kurator yang melihat portofolio nggak cuma ingin melihat hasil akhir; mereka ingin merasakan perjalanan itu. Jadi aku menulis keterangan pendek, kadang disertai foto sketsa atau moodboard yang difoto seadanya dengan ponsel—efek grainy justru terasa personal.
Tulisan pribadi: jurnal yang sengaja kubagikan
Mengapa menulis tentang proses? Karena aku butuh saksi selain dinding putih studio. Tulisan pribadi bagiku adalah cara untuk merapihkan pikiran yang berantakan—menuliskan rasa cemas saat deadline, kebingungan memilih palet, atau tawa kecil ketika cat tumpah di baju favorit. Ada kepuasan aneh saat membaca kembali catatan itu beberapa bulan kemudian, seperti menemukan petunjuk tersembunyi yang memanduku ke langkah selanjutnya.
Aku mulai menerbitkan sebagian catatan itu di blog, bukan untuk pamer, tapi untuk mengajak orang melihat sisi manusia dari seni. Kadang ada komentar yang bikin hariku cerah, kadang ada yang memberi pertanyaan kritis yang mengasah. Di tengah kebingungan dan copy-paste moodboard, aku juga menaruh link ke koleksi kerjaku atau proyek panjang yang sedang berlangsung—sebuah jembatan kecil antara tulisan dan karya visual. Kalau mau iseng lihat jejak-jejakku yang lain, pernah ada yang membuka pintu itu lewat akisjoseph, dan aku merasa aneh-nyaman seperti ditepuk pundak oleh seseorang yang tak kukenal.
Lifestyle: ritual kecil yang menjaga kreatifitas
Bagian lifestyle di sini bukan sekadar foto sarapan estetik—meski aku juga kadang post avocado toast yang lebih banyak alas piringnya daripada roti. Maksudnya adalah ritual yang kugunakan untuk tetap bertahan. Pagi dimulai dengan jalan kaki singkat di taman dekat rumah, menghirup udara yang masih dingin, mendengarkan suara burung yang berantakan nadanya—itu momen paling jujur sebelum dunia menuntut produktivitas. Siang hari penuh eksperimen, dengan playlist berubah-ubah sesuai mood: classical untuk detail, elektronik untuk ketukan cepat. Malamnya? Menulis bebaskan pikiran, kadang sambil nonton film tua yang diselingi komentar lucu ke kucing (yang selalu memberi ekspresi “kamu aneh”).
Hal-hal kecil ini, yang sering dianggap remeh, ternyata menentukan kualitas kerja. Meja yang rapi di pagi hari membuat sketsa lebih cepat muncul. Air putih yang cukup membuat kepala nggak muter. Sering kali aku sengaja mematikan semua notifikasi selama dua jam, dan itu seperti memberi izin pada otak untuk mengembara. Lifestyle bukan soal menunjukkan gambar hidup ideal di feed, tapi soal kebiasaan nyata yang men-support praktik kreatif sehari-hari.
Portofolio, tulisan, dan lifestyle—kenapa semua ini penting?
Menggabungkan ketiganya buatku seperti merajut: setiap helai punya fungsi. Portofolio adalah bukti konkret, tulisan adalah ruang refleksi, lifestyle adalah fondasi yang membuat keduanya berkelanjutan. Ketika aku merasa stuck, seringkali bukan karena ide yang hilang, tapi karena ritme hidup yang kacau. Membenahi satu aspek sering kali membuat sisanya ikut rapih. Dan yang paling penting: semua ini mengajarkan aku untuk lebih lembut pada diri sendiri. Tidak semua hari produktif, dan itu oke.
Di akhir hari, aku duduk di balkon sambil menatap lampu kota, meraba sisa cat di ujung jariku, dan tersenyum konyol. Mungkin besok aku akan menambah halaman baru di portofolio, menulis catatan yang lebih jujur, atau mengganti ritme lagu saat bekerja. Itulah kenapa aku tetap menulis di blog—untuk merekam jejak ini, agar suatu hari aku bisa membuka kembali, tertawa, mengeluh, dan bersyukur atas perjalanan kecil yang terus kujalani.