Aku suka berpikir bahwa portofolio seni itu ibarat etalase toko—rapi, terang, semua terbaik dipajang. Tapi di balik kaca itu ada rak yang berantakan, amplop berisi sketsa, dan secangkir kopi dingin yang terlupa. Tulisan ini bukan panduan teknis; lebih seperti obrolan sore sambil membalik-balik buku catatan. Biar kamu tahu bagaimana potongan-potongan kecil gaya hidup dan tulisan pribadi membentuk karya yang akhirnya masuk ke portofolio.
Portofolio: etalase atau cerita?
Dulu aku sering merasa harus menunjuk karya yang “paling bagus” saja. Jadi aku susun rapi, pilih warna yang konsisten, dan hapus jejak eksperimen yang gagal. Sekarang beda. Aku mulai melihat portofolio sebagai rangkaian cerita. Setiap karya nggak mesti sempurna, tapi tiap karya mesti menunjukkan proses. Proses itu menarik. Orang suka melihat jejak—sketsa kasar, cat tumpah, atau catatan pinggir berisi ide spontan.
Mengakui kegagalan dalam portofolio terasa berisiko. Siapa yang mau memajang hal yang “kurang berhasil”? Tapi justru dari situ muncul kejujuran. Ketika kamu menambahkan catatan pendek tentang kenapa mencoba teknik itu, atau menaruh foto meja kerja berantakan, orang merasa diajak masuk. Mereka bukan cuma melihat hasil, mereka diajak memahami alasanmu berkarya.
Catatan kecil: tulisan yang nggak untuk orang lain
Ada saat-saat aku menulis untuk diri sendiri. Tulisan-tulisan ini bukan untuk dipajang di galeri atau dikirim ke klien. Mereka berisi kalimat setengah sadar yang muncul jam dua pagi, atau pengakuan kecil tentang takut ditolak. Kadang aku menyimpannya di aplikasi catatan, kadang kumasukkan ke dalam sketchbook di kolong meja. Hal-hal kecil itu, anehnya, sering jadi sumber ide terbaik.
Sebuah catatan singkat tentang warna langit waktu hujan bisa memicu rangkaian ilustrasi. Atau satu paragraf tentang keraguan yang kurasakan saat ditawari proyek besar bisa berubah menjadi seri karya bertema ambiguitas. Kalau butuh contoh, aku pernah menemukan inspirasi dari artikel dan blog—misalnya, membaca tulisan di akisjoseph yang menyinggung rutinitas kreatif, lalu mencoba memodifikasi ritual pagiku. Tiba-tiba ada beberapa potongan gaya hidup yang masuk ke seni.
Gaya hidup sebagai bahan baku seni
Kita sering memisahkan antara “hidup” dan “karya”, padahal keduanya saling memengaruhi. Cara kamu membuat kopi, playlist yang kamu putar, bahkan rutinitas pagi akan meninggalkan jejak di kerjaanmu. Aku kebiasaan jalan pagi sebelum mulai menggambar; udara pagi dengan bau tanah basah itu masuk ke palet warnaku. Teman-temanku mungkin menganggap itu klise, tapi bagi aku itu nyata.
Ada juga kebiasaan buruk yang berkontribusi: menunda rapat dengan diri sendiri, menatap layar terlalu lama, atau menumpuk ide di sticky note yang akhirnya kusam. Semua itu hadir di karya; kadang sebagai tekstur, kadang sebagai tema. Gaya hidup bukan cuma latar belakang — ia adalah bahan baku.
Cara meramu semuanya tanpa kehilangan diri
Biar nggak terlalu sentimental, aku belajar menetapkan batas. Portofolio adalah kurasi, tulisan pribadi adalah laboratorium, dan gaya hidup adalah kebun yang perlu dirawat. Ketiganya perlu ruang. Ruang untuk gagal, ruang untuk merayakan, dan ruang untuk istirahat. Sederhana tapi penting: jangan jadikan hidupmu hanya sebagai materi. Jangan paksa cerita jadi komoditas.
Ada teknik sederhana yang membantu aku: pertama, dokumentasikan lebih banyak daripada yang kamu tampilkan. Kedua, pilih satu tema yang benar-benar mewakili kamu saat membuat portofolio—bukan tema yang kamu kira klien mau. Ketiga, jadikan tulisan pribadi sebagai arsip ide, bukan produk akhir. Dengan begitu portofolio tetap relevan, tulisan tetap jujur, dan gaya hidup tetap manusiawi.
Di akhir hari, portofolio adalah undangan. Ia bilang: “Mau lihat apa yang kubuat.” Tulisan pribadi bisik: “Mau tahu apa yang kurasakan.” Sedangkan potongan gaya hidup? Mereka menambah rasa, aroma, dan warna. Kalau semuanya diramu dengan benar, karya itu bicara. Bukan sekadar menunjuk ke teknik, tapi ke hidup yang kamu jalani—penuh noda cat, kopi, dan catatan kecil yang tiba-tiba jadi karya.