Di suatu sore ketika hujan menaburi jendela kecil di studio, aku menyadari sesuatu sederhana: portofolio seni yang kususun selama bertahun-tahun bukan hanya kumpulan gambar—ia adalah tumpukan ingatan, kesalahan, dan eksperimen yang tak selalu indah. Ada jejak tulisan di tepi halaman, coretan ide yang tak sempat diwujudkan, dan aroma kopi yang kerap menempel pada kertas. Portofolio itu menampilkan karya, tentu. Tapi lebih dari itu, ia merangkum kebiasaan hidup, pilihan, dan cerita-cerita kecil yang membentuk gaya kerjaku.
Kenapa portofolio lebih dari sekadar katalog?
Saat pertama kali membuat portofolio, aku berpikir fungsinya cukup jelas: menunjukkan kemampuan kepada calon klien atau galeri. Tapi seiring waktu, portofolio berubah menjadi semacam jurnal. Ada karya yang memperlihatkan ketelitian, ada juga yang terburu-buru—dan kedua-duanya punya nilai. Portfolio mengajarkan aku jujur tentang proses kreatif. Ketika melihat kembali, aku belajar dimana biasanya kebuntuan terjadi, kapan inspirasi datang, dan apa yang membuatku bertahan pada satu ide sampai selesai.
Aku juga mulai menata portofolio bukan berdasarkan medium, tapi berdasarkan cerita. Satu seri pekerjaan mungkin lahir dari perjalanan singkat ke pasar tradisional, yang lain dari percakapan panjang dengan seorang teman. Menempatkan konteks ke dalam setiap karya membantu orang lain—dan diriku sendiri—mengerti kenapa keputusan komposisi, warna, atau teks dibuat. Portofolio jadi ruang refleksi, bukan hanya etalase.
Kisah tulisan yang tak pernah selesai
Tulisan pribadiku dimulai sebagai terapi. Dimulai dari kalimat pendek diari yang tak lebih dari curahan emosional, sampai ke esai panjang yang kubagikan di blog. Aku menulis untuk mengurai, untuk mengingat, juga untuk menolak lupa. Ada tulisan yang kugores ketika patah hati, ada pula yang lahir dari kegembiraan sederhana—seperti mencicipi sepiring soto di pinggir jalan. Tulisan-tulisan itu adalah potongan hidup yang kemudian masuk ke portofolio, memberi lapisan naratif pada karya visualku.
Satu kebiasaan yang kusyukuri adalah menulis setiap pagi, meski hanya sepuluh menit. Kadang kalimatnya kacau dan tak akan kubaca lagi, tapi seringkali sebuah baris yang tak terduga muncul—dan baris itu bisa menjadi pemicu untuk sebuah lukisan atau instalasi. Menulis pribadi juga mengajarkan aku keberanian untuk tampil raw, bukan selalu rapi. Pembaca menghargai kejujuran. Klien, seringnya, juga menghargai keaslian itu.
Gaya hidup: medium yang sering terlupakan
Aku percaya gaya hidup adalah medium lain dalam seni. Cara aku memilih baju, cara aku menata dapur, bahkan perjalanan pulang ke kampung halaman—semuanya mempengaruhi pilihan estetik. Gaya hidup bukan sekadar atribut; ia adalah sumber bahan bakar kreatif. Misalnya, kebiasaan bersepeda di pagi hari seringkali membawaku pada palet warna yang segar dan terang. Sebaliknya, malam-malam panjang mengerjakan proyek menuntun ke nuansa lebih murung dan ekspresif.
Terkadang orang bertanya apakah gaya hidup harus ‘instagrammable’ untuk mendukung karier seni. Jawabanku singkat: tidak mesti. Tapi sadar terhadap kebiasaan dan lingkunganmu penting. Kebiasaan kecil—membaca satu artikel setiap hari, mengunjungi pasar loak sebulan sekali, atau menghadiri pertunjukan lokal—membentuk kebiasaan estetika yang akhirnya terlihat dalam karyamu. Gaya hidup adalah arsip tak terlihat yang perlahan menjadi jejak gaya.
Menganyam semuanya jadi diriku sendiri
Aku belajar untuk tidak memisahkan portofolio, tulisan, dan gaya hidup menjadi silo terpisah. Mereka saling menyentuh. Tulisan pribadiku menjelaskan proses di balik beberapa lukisan; kebiasaan hidupku memberi warna pada narasi; portofolio menjadi saksi perjalanan itu. Ada rasa kontinuitas ketika semua elemen itu ditata bersama, sebuah identitas yang terasa utuh meski selalu berkembang.
Jika kamu sedang membangun portofolio atau menimbang apakah perlu membuka ruang tulisan pribadi, coba ambil langkah kecil: dokumentasikan satu kegiatan sehari, tulis satu paragraf tentangnya, dan masukkan foto atau sketsanya ke dalam folder portofolio. Itu sederhana, tapi berefek besar. Bila mau lihat bagaimana aku menata hal-hal semacam ini di situs, pernah mencatat beberapa proses di akisjoseph—sebuah ruang kecil yang kusisipi catatan, gambar, dan petualangan gaya hidup.
Akhirnya, yang kusadari adalah: karya terbaik bukan selalu yang paling sempurna. Yang paling berbicara adalah yang mengandung jejak perjalananmu—bukan hanya teknik, melainkan juga kenangan, kegelisahan, dan pilihan harian. Jadi, jangan ragu menulis, bereksperimen, dan hidup dengan sengaja. Portofolio akan mengikuti jejak itu, dan mungkin, begitu juga orang-orang yang ingin terhubung dengan karyamu.