Di Balik Portofolio Seni, Tulisan Pribadi dan Gaya Hidup Sehari-Hari
Kalau boleh jujur, portofolio seni yang terlihat di layar itu cuma puncak gunung es. Di baliknya ada tumpukan sketsa yang belum selesai, cat kering di ujung kuas, playlist yang selalu sama, dan curhat panjang yang saya tulis di notes tengah malam. Artikel ini bukan panduan teknis—lebih seperti cerita singkat tentang bagaimana saya merawat karya, kata-kata, dan hidup sehari-hari supaya tidak panik saat deadline mengetuk pintu.
Kenapa portofolio bukan cuma karya?
Portofolio selalu dianggap sekumpulan “produk jadi”. Padahal bagi saya, portofolio adalah jurnal perjalanan. Setiap karya menyimpan momen: kopi tumpah di meja saat mood lagi naik, telpon dari tante yang tiba-tiba bikin saya nangis, atau senja oranye yang memaksa saya mengganti palet warna. Waktu memajang karya, saya suka menulis catatan kecil di sampingnya—bukan karena galeri minta, tapi karena saya ingin mengingat prosesnya. Ada nilai lebih kalau penonton tahu bahwa lukisan itu lahir dari frustrasi yang berubah jadi tawa (dan sedikit cat yang kebanyakan).
Tulisan pribadi: ruang napas yang sering dicuri
Tulisan pribadi bagi saya fungsi utamanya adalah napas. Kadang saya menulis longgar, sembari menyeruput kopi yang terlalu panas sampai bibir terasa panas (iya, lagi-lagi kebiasaan buruk). Kadang saya menulis ketika bangun tengah malam, ketika ide datang seperti tamu tidak diundang. Tulisan-tulisan itu tak harus indah atau final; justru banyak yang jelek dan lucu, dan itu menenangkan. Saya pernah menulis cerita satu paragraf tentang tanaman monstera saya yang hampir mati—tapi justru cerita itu membuka jalan ke karya ilustrasi yang sekarang jadi favorit klien.
Di tengah kebiasaan menulis, saya juga menemukan situs-situs yang memberi inspirasi atau sekadar hiburan. Kadang saya klik link lama yang saya bookmark, misalnya akisjoseph, dan merasa seperti menerima surat dari teman lama—hangat dan penuh ide baru.
Ritual harian yang gak romantis (tapi efektif)
Bicara soal gaya hidup kreatif, jangan bayangkan semua orang duduk di loft minimalis sambil menatap matahari terbenam. Realitanya seringkali lebih remeh: alarm berbunyi lima kali sebelum saya bangun, tanaman membutuhkan minum, dan kucing ramping saya menuntut sarapan pukul tujuh tepat. Ritual saya sederhana: menata meja (yang sebenarnya 60% berantakan), menyeduh kopi, memutar lagu lama, lalu menentukan tiga tugas realistis untuk hari itu. Kalau lebih, seringnya saya stres sendiri.
Ada juga kebiasaan lucu: saya menempelkan post-it kecil bertuliskan “ingat bernapas” di monitor. Rasanya konyol, tapi tiap kali saya melewatkan post-it itu, saya sadar saya sedang terpaku terlalu lama pada satu detail kecil dan lupa melihat keseluruhan komposisi. Terkadang saya gagal—terkadang saya menumpahkan teh pada sketsa, menatap noda itu selama lima menit, lalu tertawa kering karena ternyata noda itu menyatu jadi tekstur menarik.
Menjaga keseimbangan: seni, tulisan, dan kehidupan
Saya belajar bahwa produktivitas tidak sama dengan keberhasilan estetis. Ada hari-hari ketika saya tidak menghasilkan apa-apa yang bisa saya unggah, dan itu oke. Di hari-hari seperti itu saya duduk di balkon, menyaksikan anak-anak tetangga bermain, lalu menulis tentang warna lampu jalan yang tiba-tiba temaram. Hal kecil itu sering jadi sumber ide yang tak terduga.
Menjaga keseimbangan juga berarti menerima bahwa gaya hidup kreatif kadang berantakan. Saya berusaha membuat batas: jam kerja—bahkan jika itu fleksibel—dan waktu lepas layar untuk sekadar jalan kaki atau memanggang roti (eksperimen terakhir saya berakhir dengan roti bantet tapi teman saya bilang rasanya “unik”). Keseimbangan bukan soal sempurna, melainkan soal memberi ruang pada proses dan kesalahan.
Akhir kata, portofolio, tulisan pribadi, dan gaya hidup saling terkait seperti benang pada anyaman. Satu tidak lengkap tanpa yang lain. Kalau portofolio adalah pameran, tulisan pribadi adalah curhat di pojok galeri, dan gaya hidup adalah lampu yang menyorot semuanya. Saya masih belajar menata ketiganya setiap hari—dengan cangkir kopi, noda cat, dan tumpukan post-it yang setia mengingatkan saya untuk bernapas. Kalau kamu punya ritual aneh yang membantu berkarya, ceritakan dong—saya butuh ide baru untuk post-it berikutnya.